top of page
Search
exidinigimun

Contoh Perjanjian Bot dalam Bidang Real Estate, Hotel, dan Pusat Perbelanjaan



Perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) pembangunan jalan tol adalah suatu bentuk perjanjian yang dilaksanakan berdasarkan persetujuan antara pemerintah dengan perusahaan jalan tol. Perjanjian pembangunan jalan tol Ruas Depok-Antasari antara Departemen Pekerjaan Umum dengan PT. Citra Waspphutowa diatur dalam suatu klausula perjanjian yang disebut sebagai Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT). Di dalam pelaksanaan PPJT Ruas Depok-Antasari terjadi stagnasi proyek selama lebih dari 5 tahun, akibat wanprestasi ketidakpastian biaya dan jadwal pengadaan tanah oleh Departemen Pekerjaan Umum yang mengakibatkan pembengkakan biaya investasi yang harus ditanggung oleh PT. Citra Waspphutowa. Penelitian ini mencoba mengetahui dan menganalisa akibat hukum yang timbul dari wanprestasi dalam Perjanjian BOT sebagai bentuk kemitraan pemerintah-swasta dalam pembangunan Jalan Tol Ruas Depok-Antasari. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis-normatif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa akibat hukum yang timbul karena wanprestasi dari pemerintah adalah kewajiban memberikan perpanjangan masa konsensi dan/atau penyesuaian tarif tol sebagai kompensasi kepada perusahaan jalan tol atas segala kerugian yang ditanggung oleh PT. Citra Waspphutowa. Penyelesaian sengketa dilakukan dengan musyawarah dalam bentuk negosiasi untuk mencapai kesepakatan kompensasi bagi perusahaan jalan tol melalui kesepakatan dalam draft amandemen Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol Ruas Depok-Antasari.


Ditengah keterbatasan pemerintah dalam hal pendanaan melalui APBN maupun APBD, Pemerintah Daerah dituntut untuk mampu menciptakan pola-pola baru sebagai alternatif pembiayaan sehingga dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dan sedapat mungkin memberikan kontribusi pendapatan. Kerjasama melalui perjanjian build operate and transfer (BOT) merupakan model baru pembiayaan proyek pembangunan yang saat ini sering dilakukan, termasuk pada proyek pembangunan kembali Pasar Turi Surabaya akibat kebakaran tahun 2007. Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang kerja sama pembiayaan dengan model kemitraan BOT dalam pembangunan aset milik pemerintah daerah, Secara khusus penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak kerjasama pembangunan Pasar Turi, mengkaji dan menganalisa kendala-kendala apa saja yang dialami dalam kerja sama BOT Pasar Turi. Metode dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris, yaitu penelitian yuridis yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan juga disebut penelitian kepustakaan. Penelitian hukum empiris dilakukan dengan meneliti di lapangan yang merupakan data primer. pendekatan tersebut digukanan untuk menganalisis secara kualitatif tentang penerapan sistem perjanjian BOT Dalam Pembangunan dan Pengelolaan Pasar Turi. Hasil penelitian menunjukan, pelaksanaan kerja sama ini sebagai perjanjian timbal balik yang saling menguntungkan. Pemkot Surabaya menyediakan dan menyerahkan fasilitas berupa lahan eks bangunan Pasar Turi yang sudah dikosongkan. Sedangkan pihak PT. Gala Bumiperkasa melakukan pembangunan gedung (build) dan dimanfaatkan selama 25 tahun (operate). Setelah jangka waktu berakhir, gedung dan pengelolaannya akan diserahkan kepada Pemkot (transfer). Secara umum proses pelaksanaan perjanjian berjalan lancar, namun tidak terlepas dari hambatan berupa kendala-kendala dalam pelaksanaannya




Contoh Perjanjian Bot




Perjanjian merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda overeenkomst yang berasal dari kata kerja overeenkomen, artinya setuju atau sepakat. Perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Oleh karena itu formulasi perjanjian pasti berisi kesanggupan/janji-janji atau hak dan kewajiban dari para pihak yang menutup perjanjian.


Untuk syahnya perjanjian harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu : 1) perjanjian didasarkan pada kesepakatan (consensus); 2) perjanjian harus dibuat oleh orang yang cakap untuk membuat perjanjian; 3) obyek perjanjian harus jelas atau tertentu; dan 4) perjanjian itu memiliki sebab (causa) yang halal. Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek yang mengadakan perjanjian sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek perjanjian. Tidak dipenuhinya syarat-syarat tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda, yaitu tidak dipenuhinya syarat subyektif konsekuensinya adalah perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar) sedangkan tidak dipenuhinya syarat obyektif mengakibatkan perjanjian batal demi hukum (nietig).


Dalam Pasal 1320 KUHPerdata terkandung asas konsensualisme, yaitu diperlukannya sepakat (toestemming) untuk lahirnya perjanjian. Dengan disebutkan hanya sepakat saja dalam Pasal 1320 KUHPerdata tanpa dituntut formalitas apapun, dapat disimpulkan bahwa apabila sudah terjadi kata sepakat, maka syahlah perjanjian itu (Subekti, 1995 : 4). Sepakat adalah pertemuan antara dua kehendak, dimana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki oleh pihak lain (J. Satrio, 2001 : 165). Sepakat dapat juga diartikan sebagai penawaran (aanbod) yang diterima oleh lawan janjinya.


Permasalahannya adalah bagaimanakah bila pernyataan kehendak yang menutup perjanjian adalah cacat ?. Pasal 1321 KUHPerdata menegaskan bahwasanya tiada sepakat yang syah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata hal tersebut adalah pelanggaran terhadap syarat subyektif perjanjian yang membawa konsekuensi perjanjian dapat dimohonkan pembatalannya oleh salah satu pihak kepada hakim.


Buku III KUHPerdata menganut asas kebebasan dalam membuat perjanjian (beginsel der contractsvrijheid). Setiap kata sepakat (consensus) yang terjadi diantara para pihak (kebebasan berkontrak) akan menimbulkan perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang menutup perjanjian (pacta sunt servanda). Oleh karena itu cacat kehendak karena kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang) dan penipuan (bedrog) sebagai alasan untuk membatalkan perjanjian maupun perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan, kepatutan dan kepentingan umum pada hakekatnya adalah pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak.


Kebebasan berkontrak memang sering menimbulkan ketidakadilan dikarenakan membutuhkan posisi tawar (bargaining position) yang berimbang dari para pihak yang menutup perjanjian. Seringkali posisi tawar yang tidak berimbang menyebabkan pihak dengan posisi tawar yang lebih tinggi mendiktekan kemauannya kepada pihak lawan janjinya.


Dalam perkembangannya, cacat kehendak juga dapat terjadi dalam hal adanya penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden/undue influence). Di Negeri Belanda, menurut Pasal 3 : 44 NBW (sejak Januari 1992) perjanjian dapat dibatalkan apabila satu pihak dalam melakukan perjanjian tersebut berada dalam keadaan darurat atau terpaksa atau dalam keadaan di mana pihak lawannya mempunyai keadaan psikologis yang lebih kuat dan menyalahgunakan keadaan tersebut dalam membuat perjanjian (Herlien Boediono, 2008 : 17).


Dimulai dari Bovag Arrest III, HR 26 Februari 1960, NJ. 1965,373, maka hukum perjanjian di Negeri Belanda telah menerima penyalahgunaan keadaan sebagai alasan pembatalan perjanjian. Pembatalan atas alasan itu dapat dilakukan baik untuk seluruhnya ataupun sebagian. Dalam buku ketiga Pasal 44 ayat (1) Nieuw Burgerlijk Wetboek (BW Baru) Belanda disebutkan empat syarat untuk adanya penyalahgunaan keadaan, yaitu :


2) Suatu hal yang nyata (kenbaarheid), diisyaratkan bahwa salah salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui bahwa pihak lain dalam keadaan istimewa tergerak (hatinya) untuk menutup suatu akta perjanjian.


Penyalahgunaan keadaan bukan hal baru dalam hukum perjanjian. Penyalahgunaan tidak dapat dibenarkan, akan tetapi cara mengkontruksikannya dahulu dan kini berbeda. Dahulu penyalahgunaan keadaan dikonstruksikan sebagai bertentangan dengan ketertiban umum atau tata karma yang baik (geode zeden) sehingga berkaitan dengan cacat causa dari perjanjian. Perjanjian yang lahir dalam kondisi psikologis ataupun ekonomis yang tidak berimbang dapat menyebabkan salah satu pihak terpaksa menutup perjanjian dengan prestasi yang tidak berimbang.


Konsekuensi dari cacat causa adalah perjanjian batal demi hukum (nietig) untuk seluruhnya. Hal itu dipandang tidak adil dikarenakan sering hanya bagian tertentu dari perjanjian yang dianggap tidak adil oleh pihak yang dirugikan. Perjanjian juga menjadi dapat dimintakan pembatalan oleh kedua belah pihak termasuk pihak yang menyalahgunakan keadaan apabila dianggap perjanjian tersebut ternyata merugikannya.


Kontruksi penyalahgunaan keadaan sebagai cacat kehendak membawa konsekuensi perjanjian dapat dimohonkan pembatalannya (vernietigbaar) kepada hakim oleh pihak yang dirugikan. Sepanjang perjanjian belum dibatalkan, maka perjanjian tetap mengikat para pihak yang membuatnya. Tuntutan pembatalan dapat dilakukan untuk sebagian atau seluruhnya dari isi perjanjian.


Penyalahgunaan keadaan berkaitan dengan syarat subyektif perjanjian. Salah satu pihak menyalahgunakaan keadaan yang berakibat pihak lawan janjinya tidak dapat menyatakan kehendaknya secara bebas. Van Dunne membedakan penyalahgunaan menjadi 2 (dua), yaitu karena keunggulan ekonomis dan keunggulan kejiwaan sebagai berikut (Henry P. Panggabean, 1992 : 41) :


Posisi tawar yang tidak berimbang dapat menjadikan salah satu pihak dalam keadaan terpaksa saat menutup perjanjian. Lebih lanjut, J. Satrio (2001 : 317-318) mengemukakan beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai ciri penyalahgunaan keadaan, yaitu :


KUHPerdata tidak menganut prinsip justum pretitum, yaitu prinsip yang mengharuskan agar dalam perjanjian timbal balik dipenuhi syarat keseimbangan prestasi dan kontra prestasi. Oleh karena itu, adanya prestasi dan kontra prestasi yang tidak berimbang tidak cukup membuktikan adanya penyalahgunaan keadaan. Tidak berimbangnya prestasi dan kontra prestasi hanyalah salah satu indikator yang harus dibuktikan lebih jauh apakah munculnya keadaan itu didahului oleh adanya penyalahgunaan keadaan. Harus dibuktikan bahwa ketidakseimbangan prestasi yang menyolok terjadi karena adanya tekanan keadaan, yang oleh salah satu fihak disalahgunakan. Tekanan keadaan dan ketidakseimbangan saja juga tidak cukup, yang penting justru dibuktikan adanya penyalahgunaan dari keadaan ekonomis atau psikologis (J. Satrio, 2001 : 322-323). 2ff7e9595c


0 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page